Tahun ini menandai 49 tahun sejak peluncuran Satelit Palapa A1 pada 1976, sebuah tonggak penting dalam sejarah komunikasi Indonesia. Satelit ini menjadi simbol ambisi besar negeri ini untuk menjangkau setiap pelosok dengan jaringan komunikasi yang lebih baik. Namun, hampir setengah abad kemudian, pertanyaan mendasar muncul: apakah kita sudah benar-benar maju dalam teknologi satelit, atau justru masih tertinggal jauh dari kebutuhan riil masyarakat?

Kurangnya Infrastruktur Satelit Indonesia
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 17.000 pulau. Namun, akses internet dan listrik masih menjadi tantangan besar, terutama di daerah terpencil. Meski telah ada berbagai satelit komunikasi seperti Palapa, Telkom, dan yang terbaru Satria-1, realitanya masih banyak wilayah yang mengalami blank spot. Perusahaan swasta seperti Starlink bahkan lebih cepat menjangkau daerah pedalaman dibandingkan dengan infrastruktur dalam negeri.
Masalah ini bukan sekadar ketinggalan teknologi, tetapi juga strategi dan implementasi yang tidak sejalan dengan kebutuhan masyarakat. Pembangunan infrastruktur telekomunikasi yang bertumpu pada kabel serat optik membutuhkan pembukaan lahan besar-besaran, sementara satelit seharusnya menjadi solusi untuk menjangkau daerah tanpa merusak lingkungan.
Akses Energi: Kunci Infrastruktur Digital
Satelit dan internet tidak bisa berjalan tanpa energi. Sayangnya, banyak daerah di Indonesia masih kesulitan mendapatkan akses listrik yang stabil. Solusi yang ada saat ini masih bertumpu pada energi fosil, yang selain mahal juga berdampak besar pada lingkungan. Padahal, dengan pemanfaatan energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin, daerah terpencil bisa mendapatkan listrik tanpa harus tergantung pada jaringan listrik konvensional yang membutuhkan pembukaan lahan baru.
Teknologi seperti solar panel off-grid dan baterai penyimpanan energi seharusnya menjadi prioritas nasional. Dengan listrik berbasis energi terbarukan yang mudah diakses, masyarakat bisa tetap terkoneksi dengan internet, mendukung pendidikan, ekonomi digital, dan aktivitas lainnya tanpa perlu mengorbankan lingkungan.
Indonesia berada tepat di garis khatulistiwa, mendapatkan sinar matahari sepanjang tahun—365 hari full matahari! Tapi, anehnya, upaya serius untuk membangun pembangkit listrik tenaga surya masih minim. Bahkan di musim hujan, seharusnya energi bisa tetap tersedia dengan memanfaatkan aliran sungai untuk pembangkit listrik tenaga air skala kecil. Jadi, kenapa harus bergantung pada pembangkit listrik yang merusak lingkungan? kenapa pakai baterai? Kenapa tidak membangun sistem berbasis komunitas, di mana satu desa bisa memiliki sumber listrik mandiri? Memang terdengar utopis, tapi teknologi sudah ada—tinggal niat politik dan kebijakan yang mendukung.
Satelit vs. Pembukaan Lahan Baru: Pilihan yang Tak Seharusnya Ada
Ironisnya, di saat negara maju berlomba-lomba memanfaatkan satelit untuk mengoptimalkan konektivitas, di Indonesia pembukaan lahan baru masih menjadi solusi utama untuk membangun infrastruktur. Ini tidak hanya terjadi pada sektor telekomunikasi, tetapi juga pada proyek listrik, jalan, dan perkotaan baru. Padahal, dengan pendekatan yang lebih cerdas dalam pengelolaan teknologi satelit dan energi terbarukan, kebutuhan akan ekspansi fisik bisa diminimalkan.
Sebagai contoh, jika internet dan listrik tersedia merata, orang tidak perlu bermigrasi ke kota hanya untuk mendapatkan akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Desa-desa bisa berkembang tanpa harus ditebang hutan-hutannya demi membuka kawasan industri atau perumahan baru. Hal ini menegaskan bahwa solusi infrastruktur digital bisa menjadi jalan tengah antara pembangunan dan pelestarian lingkungan.
Hilirisasi Nikel dan Kerusakan Lingkungan yang Tidak Perlu
Salah satu ironi terbesar dalam pembangunan infrastruktur energi di Indonesia adalah dampak dari hilirisasi nikel. Nikel adalah bahan utama dalam produksi baterai, terutama untuk kendaraan listrik dan penyimpanan energi terbarukan. Namun, eksploitasi besar-besaran tambang nikel di Sulawesi dan Maluku telah menyebabkan deforestasi masif, pencemaran air, dan rusaknya ekosistem setempat.
Hilirisasi nikel seharusnya menjadi solusi untuk transisi energi bersih, tetapi faktanya malah menimbulkan kerusakan lingkungan yang tidak sebanding dengan manfaatnya. Alih-alih menggantungkan energi pada baterai berbasis nikel yang eksploitatif, Indonesia perlu berinvestasi dalam teknologi energi alternatif yang lebih ramah lingkungan seperti baterai berbasis natrium atau sistem penyimpanan energi lainnya yang lebih berkelanjutan.
Masa Depan: Satelit untuk Kemandirian Digital?
Indonesia harus bergerak lebih cepat dalam investasi dan inovasi satelit, bukan hanya sebagai alat komunikasi tetapi juga sebagai solusi multidimensi. Satelit bisa digunakan untuk mitigasi bencana, pemantauan lingkungan, serta mempercepat penetrasi ekonomi digital di daerah terpencil. Jika tidak, kita hanya akan terus bergantung pada perusahaan asing yang lebih sigap dalam mengisi kekosongan ini.
Di usia ke-49 ini, Satelit Palapa seharusnya bukan sekadar sejarah, tetapi sebuah pengingat bahwa teknologi adalah alat yang bisa membebaskan masyarakat dari keterisolasian, tanpa harus mengorbankan lingkungan. Jika kita serius, kita tak perlu membuka lahan baru—cukup pastikan listrik dan internet tersedia di mana saja, bahkan di atas pohon sekalipun.